Itulah ironi yang menyertai kecelakaan di jalan
layang non-tol (JLNT) Kampung Melayu-Tanah Abang. Seorang wanita yang
tengah hamil 5 bulan tewas saat berboncengan dengan suaminya di JLNT
tersebut. Tubuh wanita bernama Windawati itu
terjun bebas dari
ketinggian 15 meter setelah ditabrak sebuah mobil. Dia langsung tewas
di tempat, sedangkan suaminya mengalami patah kaki dan tangan.
Sekilas
terlihat seperti kecelakaan biasa. Tapi, ini kecelakaan yang berbeda
jika dilihat dari proses dan peristiwa lain yang menyertai sebelumnya.
Setidaknya, kejadian di jalan yang baru saja diresmikan ini kembali
menegaskan bahwa masyarakat kita memang masih jauh dari disiplin dan
taat aturan.
Ironi ini dimulai pada Minggu 26 Januari 2014. Pagi
itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan Gerakan Nasional
Pelopor Keselamatan Berlalu Lintas. Bertempat di Bundaran Hotel
Indonesia, Jakarta Pusat, SBY mengajak seluruh masyarakat berpartisipasi
mencegah atau mengurangi kecelakaan berlalu lintas.
Menurut SBY,
kecelakaan lalu lintas telah menjadi perhatian Perserikatan
Bangsa-Bangsa atau PBB mengingat banyaknya korban jiwa. Karena itu dia
mengajak seluruh rakyat Indonesia, komponen bangsa, dan masyarakat untuk
sungguh-sungguh berupaya sekuat tenaga
mencegah dan mengurangi kecelakaan lalu lintas.
"Semua turut bertanggung jawab, semua ikut bertugas, berupaya," tegas SBY.
Untuk
mendukung gerakan ini, Kapolri Jenderal Sutarman ikut memaparkan
angka-angka kecelakaan di Indonesia. Tujuannya tentu saja untuk
memunculkan efek jera sehingga pengguna jalan raya tak lagi toleran
terhadap perilaku yang melanggar aturan berlalu lintas.
"WHO telah mencanangkan dekade keselamatan di jalan raya mengingat
tingginya angka kecelakaan jalan raya," ujar Sutarman.
Sebanyak
25 ribu lebih jiwa di Indonesia meninggal pada 2013, atau turun
dibandingkan 2012 yang mencapai 27 ribu jiwa meninggal. Angka itu
membuat rata-rata meninggal dunia akibat kecelakaan sekitar 80 orang per
hari.
Sayang, hanya berjarak satu hari, imbauan Presiden itu tak
lagi ampuh. Sebuah kecelakaan terjadi tak jauh dari lokasi Presiden
mencanangkan Gerakan Nasional Pelopor Keselamatan Berlalu Lintas di
Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat. Sekitar 3 kilometer dari
Bundaran HI, tepatnya di JLNT Kampung Melayu-Tanah Abang dekat Mal
Ambasador.
Kejadian bermula sekitar pukul 22.00 WIB, Senin 28
Januari 2014. M Faizal Bustamin (28) berboncengan dengan istrinya
Windawati (27) dari Kampung Melayu ke arah Tanah Abang. Faizal dan
Windawati yang tengah hamil 5 bulan itu menaiki sepeda motor Honda Beat
dengan nomor polisi B 3843 LA.
Saat melintas di depan ITC Ambassador, sepeda motor kemudian memutar arah dengan
melawan arus.
Tindakan nekat itu akhirnya berbuah bencana. Sepeda motor Faizal
ditabrak mobil Honda City Nomor Polisi B 8542 RS yang dikemudikan Tomy
Reymon (25).
Akibat insiden itu, Windawati terlempar dan jatuh
dari jalan layang setinggi 15 meter itu. Tubuhnya melayang dan meninggal
dunia saat terhempas di aspal jalan raya di depan Mal Ambasador.
Sedangkan sang suami yang mengalami patah tangan dan kaki dibawa ke RS
TNI AL Mintoharjo, Jakarta Pusat.
Kita layak berduka atas apa yang
dialami oleh pasangan ini. Tapi, itu seharusnya tak membuat kita lupa
atas bertumpuknya kesalahan yang dilakukan Faizal pada malam nahas itu.
Dan inilah potret paling jelas pengguna jalan di Ibukota.
Pertama,
Faizal telah mengambil jalur yang sebenarnya tidak diperuntukkan bagi
sepeda motor. Di kedua sisi jalan, baik dari arah Kampung Melayu atau
Tanah Abang, telah ada rambu yang melarang kendaraan roda 2 serta bajaj
untuk lewat. Namun, itu tak diindahkan.
"Sudah ada (rambu) motor dilarang, karena Konstruksinya memang
tidak mungkin buat motor. Jadi rambu saja ternyata tak cukup untuk masyarakat memahami," ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Rikwanto.
Dia
menegaskan, JLNT sepanjang Jalan Prof Satrio hingga depan Mal Kota
Casablanca bukan untuk sepeda motor. JLNT itu dimaksudkan guna mengurai
kemacetan yang sering terjadi di bawah jalur JLNT itu.
Kedua, saat
berada di jalur yang tak semestinya itu, Faizal tetap nekat berbalik
arah. Jangankan untuk dilakukan, sekadar dibayangkan saja sudah sangat
mengerikan. Sebuah sepeda motor berbalik arah di jalan layang bebas
hambatan, di mana kendaraan bisa dipacu dalam kecepatan tinggi, jelas
sudah itu sebuah mimpi buruk.
Keputusan Faizal untuk memutar
sepeda motornya dan berbalik arah dengan melawan arus juga menyimpan
cerita tersendiri. Menurut rekan kerja korban bernama Deny Novirza,
korban sebenarnya pula bersama-sama dengan temannya yang lain, dengan
sama-sama mengendarai sepeda motor.
Saat berada di atas JLNT
tersebut, Faizal mendapat kabar dari temannya yang telah dulu berbalik
arah bahwa di ujung jalan arah Tanah Abang ada razia polisi. Kabar
inilah yang kemudian membuat Faizal berbalik.
"Kalau cerita
Faizal, setelah naik jalan layang itu dia melihat ada razia. Nah,
temannya yang barengan pulang itu terkena razia tadi. Jadi
Faizal putar balik. Dan terjadi kecelakaan itu," papar Deny di Jakarta, Selasa (28/1/2014).
Ini
sekaligus membuktikan bahwa Faizal sebenarnya mengetahui kalau memasuki
JLNT melanggar peraturan, sehingga dia tidak melanjutkan perjalanan dan
berbalik arah karena tidak mau ditilang polisi.
Ketiga, korban
mengendarai sepeda motor miliknya dengan kecepatan tinggi tempat yang
tidak aman. Dengan kondisi motor yang dikendarai Faizal rusak parah,
begitu juga mobil yang bertabrakan dalam keadaan ringsek, sehingga dapat
dipastikan motor dan mobil melaju dalam kecepatan tinggi.
Yang
lebih ironis lagi, Faizal tahu betul bagaimana berbahayanya mengendarai
sepeda motor dalam kecepatan tinggi di JLNT. Kepada sang ayah, Faizal
bercerita bahwa kondisi angin di JLNT
sangat kencang. Sehingga bila tidak fokus, kendaraan akan sering sekali oleng.
Keempat, belakangan diketahui kalau korban tidak mengantongi surat izin mengemudi (SIM). "Pengendara motor
tidak memiliki SIM," kata Kombes Rikwanto. Ini jelas-jelas fakta yang sangat mencengangkan.
Sebagai
pemilik kendaraan yang setiap hari memboncengi istrinya pulang pergi
dari tempat kerjaan, betapa beraninya Faizal lalu lalang di jalanan
Ibukota tanpa kelengkapan surat-surat. Bisa dipastikan pula, sosok
pengguna jalan di Ibukota yang seperti Faizal tidaklah sedikit.
Ironi
ini belumlah berakhir. Meski telah memakan korban, JLNT Kampung
Melayu-Tanah Abang tetap ramai diserbu pengendara motor. Akibatnya,
ratusan motor ini terjaring razia petugas sepanjang Selasa ini.
Satu
per satu sepeda motor yang nekat masuk ke JLNT Casablanca itu
dihentikan polisi. Mereka langsung ditilang. Meski sudah ada tanda
larangan masuk bagi kendaraan roda dua dan truk, sejumlah pengendara
mengaku tak tahu ada rambu larangan melintas.
Bukan hanya sepeda
motor, petugas juga menilang sopir bajaj yang nekat naik JLNT. Dalam
razia ini, ratusan motor dari arah Kampung Melayu menuju Tanah Abang
langsung
diberi surat tilang.
Beberapa
pengendara motor sempat ada yang mencoba memutar balik arah. Namun
tindakan berbahaya ini tetap diganjar surat tilang dari petugas yang
telah menunggu di bawah jalan layang.
Apa yang dialami Faizal
ternyata tak kunjung membuat banyak pengguna jalan sadar akan
berbahayanya berlalu lintas tanpa kesadaran tinggi untuk mematuhi
peraturan. Wajar memang, karena di jalan aturan tak selalu tunduk pada
yang tertulis. Kondisi di jalanan menunjukkan aturan lalu lintas bisa
jadi tak mempan karena kalah dengan cara kompromi atau melawannya dengan
sikap nekat para pengendara.
Faizal adalah contoh buruknya
mental dan perilaku pengguna jalan di Ibukota. Tak peduli Presiden atau
Kapolri bercerita tentang berbahayanya jalan raya yang digunakan oleh
pengguna yang tak bertanggung jawab, justru kebiasaan melanggar itulah
yang agaknya memunculkan kebanggaan.
Menerabas lampu merah,
mengasapi polisi di persimpangan, tancap gas di jalur lambat, serta
mengambil jalur berlawanan di saat macet sudah jadi pemandangan biasa di
jalan-jalan Jakarta. Jadi, tak perlu heran kenapa Faizal berani
'berjudi' dengan maut di atas JLNT Kampung Melayu-Tanah Abang pada malam
itu. (Ado)