buku cerita

0
Sayang Uang Bukan Eyang
Siapa saja boleh jatuh cinta, termasuk nenek-nenek. Tapi jika seorang nenek yang patah hati lalu mencoba bunuh diri, mungkin hanya Mbah Yayah, 65 tahun, dari Pakem (Sleman), DIY. Usut punya usut, ternyata sicowok selain membohongi cintanya juga menggondol harta miliknya senilai Rp 10 juta. Rupanya si pemuda hanya membutuhkan uangnya bukan eyang dan goyangnya.
Ini kisah nenek-nenek yang gatel. Bagaimana tidak, usia sudah kepala enam, eh masih juga berpetualang dalam asmara. Mending kalau wajahnya masih cantik seperti Mooryati Sudibyo dan Titik Puspa, lha Mbah Yayah ini kan sudah peot nan keriput. Kulit di lehernya sudah melipat-lipat, payudara juga telah menggelambir bagaikan stalagnit-stalagtit di goa Selarong.
Tapi ya bagaimana lagi, sebagai wanita normal, Mbah Yayah merasa sangat kesepian sejak 10 tahun lalu, ketika suaminya meninggal dalam usia 70 tahun. Dulu ketika masih ada suami, meski sudah jompo Eyang Kakung masih rajin memberikan kehangatan malam. Ibarat kata, najan mung gliyak-gliyak ning isih tumindak (biar pelan-pelan tapi pasti). Meski tak sesering dulu, tapi masih adalah…..!
Idih, dinginnya malam setelah tanpa suami! Biasanya ada yang ngeloni dan tersedia mainan iseng, kini hanya mendekap guling tanpa makna. Dan guling-guling bisu itu terus berkelanjutan seiring dengan tambahnya usia mbah Yayah. Dalam hati kecilnya dia suka berharap, mbok Tuhan mengirimkan duda untuk menjadi jodohnya. Kan banyak “duren” alias duda keren di daerah Sleman ini, masak satu saja tak ada yang nyangkut?
Akan tetapi, sampai usia kepala enam belum ada juga lelaki yang menebar asmara ke arah dirinya. Tapi ya maklum sajalah, siapa mau pacaran dengan nenek-nenek seperti dia? Kalau pun ada yang berminat, pastilah ada faktor lain. Paling tidak, lelaki tersebut pasti pernah kuliah di Fakultas Sasdaya (Sastra Budaya) UGM jurusan purbakala, sehingga menggemari barang-barang antik seperti mbah Yayah ini.
Tapi lama-lama doa Mbah Yayah dikabulkan Tuhan, ketika usianya sudah 64 tahun, ada lelaki dua yang mendekati dirinya. Namanya Sumadi, 55, warga Cangkringan, daerah situ-situ juga. Meski usianya 10 tahun di bawahnya, tapi sepertinya dia sangat serius menjalin hubungan dengan si nenek. Buktinya, dia tak pernah malu jalan sarimbit (berdua) dengan Mbah Yayah.
Ironisnya, meski sering jalan berdua tapi mereka baru sebatas makan dan minum-minum saja di rumah makan. Yang namanya mojok, atau kelonan dalam kamar, sama sekali tak pernah dilakukan. Sebetulnya Mbah Yayah juga sangat menginginkan, tapi Sumadi tak pernah ada inisiatip ke sana. Sedangkan si nenek mau memprakarsai juga gengsi. “Memangnya gue nenek apaan,” kata batin Mbah Yayah.
Kalaupun ada prakarsa dari Sumadi, justru dalam hal minta uang. Sudah berulang kali lelaki itu minta duit pada Mbah Yayah dengan alasan untuk biaya sekolah anak-anak, modal usaha, hingga keperluan tertentu. Karena yakin Sumadi akan mengawini kelak, si nenek memberikan juga, Prinsip si nenek: cinta memang harus berkorban, termasuk uang!
Angan-angan Mbah Yayah terbang ketika uang yang diberikan sudah mencapai Rp 10 juta, tapi Sumadi lalu ngglenes (pergi tanpa pamit) tak ada kabarnya. Maka ketika warga sekitarnya sibuk mencermati lahar Merapi yang siap-siap dimuntahkan, Mbah Yayah malah repot mencari keberadaan lelaki itu. Setelah bergaya bak seorang detektif, akhirnya ditemukan juga. Ternyata trondolo, Sumadi masih punya istri sah. “Kurang ajar, ternyata dia hanya mau duitku saja,” maki Mbah Yayah.
Hatinya luka, jiwanya tertekan. Ingin sebetulnya Mbah Yayah curhat, tapi pada siapa? Salah-salah malah pada mentertawakan dan menyalahkan, kenapa nenek-nenek kok pacaran segala. Tak kuat menahan beban kekecewaan jiwa, nenek-nenek dari pakem ini lalu mencoba minum racun serangga, glekkkk, glekkk. Terkapar sebentar, tapi keluarganya masih sempat membawanya ke RS Panti Nugroho Pakem.
Mbah Yayah rupanya stress, karena surat tanah terlanjur digadaikan untuk ngongkosi cintanya.