0
Padahal, menurut Nonot, pola bisnis yang sekarang berjalan sudah berubah, dari yang semula menggunakan sistem jaringan menjadi berbasis server. »Dalam prakteknya Google itu penyedia konten dan aplikasi yang menjadi partner operator telekomunikasi,” ujarnya.
Nonot mengatakan pendapatan Google amat bergantung pada rating atau orang yang mengakses mesin pencari tersebut. Adapun untuk mengakses Google, orang membutuhkan jaringan yang disediakan oleh operator. Hal yang sama juga berlaku untuk layanan media sosial seperti Facebook dan Twitter.
Masalahnya selama ini, kata Nonot, operator menerapkan tarif yang rendah untuk mengakses Internet. Akibatnya pendapatan operator terus menurun meski layanan data terus meningkat.
Namun pada saat yang sama Google menangguk keuntungan karena orang yang mengakses semakin banyak, sehingga trafiknya semakin tinggi. »Ini sama seperti koran yang oplahnya besar, iklannya juga banyak,” katanya.
Menurut Nonot, tujuan Google mendirikan kantor perwakilan di Indonesia bisa dijadikan bukti bahwa mesin pencari ini sekadar mencari iklan dan menjadikan Indonesia sebagai pasar. »Itu menunjukkan bahwa Google memang mencari iklan,” kata Nonot yang mengaku tidak mendapat undangan dari Google untuk acara pembukaan kantor perwakilan tersebut.
Dalam undangan yang diterima Tempo, Google menyebutkan bahwa kantor representatif Google di Indonesia ini diharapkan dapat meningkatkan pengalaman bagi para pengguna, pengiklan, dan mitra dari Google
Karena itu sudah saatnya mulai dicari titik keseimbangan, sehingga operator-operator ikut menikmati keuntungan dari meningkatnya penggunaan layanan data ini.
Nonot menyatakan kalangan operator pun belum terlalu memahami perubahan pola bisnis ini. Kalangan operator di Amerika pun, kata dia, juga mengalami kerugian akibat meningkatnya layanan data ini.
Nonot mengakui bahwa saat ini adalah masa-masa transisi, sehingga regulasi yang mengatur tentang model kerja sama antara penyedia konten seperti Google dan penyedia jaringan harus segera dirumuskan. Regulasi seperti ini pun belum ada contohnya di negara lain. »Ya Indonesia harus memulai,” katanya.
Nonot menilai Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik belum bisa digunakan untuk mengatur pola bisnis antara operator dan penyedia konten. »UU ITE itu mengatur pemanfaatan transaksi elektronik, tapi infrastruktur jaringannya sendiri tidak diatur,” ujarnya
0Awesome Comments!