“Bapak itu lagi!” Niar menggumam dalam diam di tepi
jendela. Matanya menatap malam yang sedang memilih warna hitam pekat.
Namun pandangan Niar yang sebenarnya, ada di berbagai peristiwa. Gaya
melamunnya milik orang kebanyakan, duduk di depan meja sambil kedua
tangannya menopang dagu.
Inilah rutinitas Niar seusai belajar. Melamun! Dan kali ini tema
lamunan Niar seusai belajar adalah tentang seorang pria hampir paruh
baya yang bagi Niar selalu khas lekat dengan sepeda jengkinya.
Niar sangat tahu betul sosok itu. Selama setahun kemarin, bapak itu
selalu berpapasan dengannya di jalan. Niar kerap menyalip sepedanya di
pagi hari. Terutama jika itu adalah hari Senin. Semua orang tahu, hari
Senin adalah waktu untuk upacara bendera. Dan bagi Niar, hari Senin
berarti juga waktunya piket membersihkan kelas. Karena itulah, hari
Senin menjadi alasan bagi Niar untuk menjadi pembalap pagi hari di
jalan.
Menyalip sepeda bapak itu juga dilakukan Niar di hampir setiap pulang
dari sekolah. Banyak orang akan melakukan hal seperti yang Niar
lakukan, bergegas mengenderai sepeda di tengah terik siang yang
menyengat.
Sepeda milik Niar bukanlah sepeda balap. Sepeda dengan keranjang di
depan, sepeda andalan yang pas untuk para perempuan. Tidak ada juga
perangkat untuk memberatkan atau meringankan kayuhan pengendaranya yang
biasa terletak di stang sepeda.
Hanya saja, Niar memang selalu punya gagasan untuk menjadi pembalap
di jalan. Bahkan, mengajak balapan angkutan umum berisi teman-temannya
yang juga pulang sekolah. Sebentuk kebanggaan yang terukur bagi Niar,
bila ia bisa mengalahkan mobil bertubuh kuning itu. Meski sebetulnya,
tentu saja dikarenakan kecepatan angkutan umum tersebut yang tidak bisa
melaju cepat. Kendaraan itu kerap mampir di banyak tempat, menurunkan
dan mengangkut penumpang, lalu tetap berjalan lambat demi, andai saja
ada penumpang di dalam gang yang terlihat sedang berjalan untuk menyetop
angkutan umum.
Sepeda milik bapak itu juga bukan sepeda tua, sehingga membuat
pengendaranya selalu disalip banyak orang. Sepeda jengki,
begitu orang menyebut jenisnya. Ibarat tubuh manusia, sepeda jenis ini
bertubuh tinggi langsing, lebih ramping meski berfisik mirip sepeda
kumbang. Namun kalau urusan laju, diameter bannya yang besar bisa
membuat sepeda ini melaju lumayan gesit.
Jadi mengapa Niar kerap menyalip bapak itu, jelas sudah bukan karena
urusan kualitas sepeda. Tapi, karena alasan Niar untuk harus cepat saat
mengendarai sepeda di jalan. Dan, alasan bapak itu selalu berkenan
disalip oleh Niar, tak pernah Niar ketahui.
Tapi sejak tadi siang, Niar punya dasar kuat untuk tidak menjadi
pembalap di jalan raya. Apalagi, kini ia punya penghalang untuk tidak
lagi bisa menyalip bapak bersepeda jengki yang sudah Niar ketahui
identitasnya.
Paginya, Niar memang masih menjadi pembalap. Karena di awal hari itu,
Niar ingin punya pengalaman pertama yang menyenangkan saat ia sudah
bisa mengganti rok birunya dengan warna abu-abu.
Semua bermula dari upacara bendera. Sebetulnya mata Niar menatap
silau ke segala penjuru arah. Topi barunya tak bisa menutupi wajahnya
dengan maksimal. Apalagi, tidak ada barisan yang memagar di depannya.
Nias sempat menggerutu, mengapa ia menjadi murid paling tinggi di
kelasnya sekarang. Karena itu berarti, selama setahun nanti Niar harus
kerap berada di barisan paling depan sebagai aturan baku baris berbaris.
Siapa yang paling tinggi, baris di tempat kehormatan paling depan!
Para guru berbaris di tempat yang teduh, menghadap para siswa baru
yang menikmati sinar pagi kaya manfaat untuk tubuh. Berbalikan dengan
aturan baris berbaris pada siswa, para guru berbaris dengan aturan siapa
yang paling dulu. Atau, mungkin siapa yang paling mungil, dialah yang
ada di depan. Karena dalam pengamatan Niar, ternyata bapak itu berbaris
di barisan paling depan, berikut juga barisan di samping kanan kirinya
yang juga terdiri dari para guru dengan tinggi tubuh yang tak jauh beda
dengannya.
Tapi tentu tidak ada satu orangpun yang sengaja mengatur, mengapa
Niar bisa berbaris paling depan dan mengapa bapak itu juga satu arah
dengannya berbaris paling depan. Lalu di kemudian waktu, membuat mereka
saling kerap bertatap-tatapan.
“Ya Tuhan… itu kan bapak yang sering aku salip di jalan?” waktu itu
Niar ingat pasti kalau dia cuma bisa tanpa sadar membuka mulut lebar
tanda ternganga. Sedangkan bapak yang ditatap Niar, membalas dengan
senyum khas yang kerap dilihat Niar.
“Ah ya, senyum itu!” Niar ingat pasti bagaimana ada seseorang yang pernah membuatnya cemberut hanya karena ia tersenyum.
Dalam pikiran Niar, sulit dijelaskan tentang seseorang yang bisa
menikmati sinar matahari di siang hari. Mungkin itu sah jika jawabannya
adalah para turis di Kuta Bali. Tapi ini, adalah seorang bapak, dengan
seragam abu-abu gelapnya, yang mengendarai sepeda jengki, berikut senyum
bahagianya.
Ya, senyum itu memang terlihat tulus tanpa paksaan matahari yang
panas. Meski keringat juga terlihat mengucur lancar di wajahnya yang tak
bertopi. Dan Niar menjadi keki karena tidak bisa ikut berbahagia
seperti cara bapak itu!
Lain waktu, Niar menjumpai bapak itu di kala sore hari. Kali ini juga
dengan kondisi yang membuat Niar geleng-geleng kepala tanda salut. Si
bapak bisa memancar senyum bahagia dalam kondisi tak terbebani sosok di
belakangnya. Di balik tubuh bapak itu, ada seorang wanita yang mungkin
istrinya, duduk bergaya menyamping, sambil memikul setumpuk perangkat
dan bahan dagangan untuk berjualan nasi boran.
Membayangkan memangkunya dalam diam saja, Niar tak mampu. Perangkat
dan bahan untuk berjualan makanan khas Lamongan itu tak pernah bisa
hadir dengan versi sederhana sejak dulu. Ada nasi yang diletakkan di
sebuah wadah besar dari jalinan bambu yang disebut boran. Berikut,
berbagai lauk yang diletakkan di beberapa wadah terpisah. Jika
bagian-bagian itu disatukan, maka jadilah tumpukan setinggi sekitar kaki
orang dewasa yang harus dipangku oleh wanita itu di atas dudukan
belakang sepeda jengki.
Memang, tumpukan itu bisa melekat pada tubuh pembawanya karena ada
selendang sebagai alat pengikat untuk menggendong. Tapi memeganginya
sambil menjaga keseimbangan dengan duduk di boncengan sepeda, tentu
menghasilkan gerakan-gerakan yang membuat si pemboncengnya harus lihai
mengendalikan setir sepeda.
Dan jika pembonceng itu adalah Niar, ia yakin, baru satu kayuhan saja
sepedanya pasti akan oleng ke samping karena beban yang ada di
belakangnya. Jadi pastinya, tak akan ada gambaran dalam pikiran Niar
untuk bisa menikmati kayuhan sepeda sambil tersenyum bahagia!
***
Namanya Pak Umar. Kini, memang sudah ada yang berubah dari hubungan
Niar dengan orang yang selalu hanya ia bisa sebut dengan panggilan bapak
atau bapak bersepeda jengki, tanpa embel-embel nama asli di
belakangnya.
Setelah kejadian upacara di hari pertama ia masuk sekolah, Niar jadi
mengenal nama Pak Umar. Karena, bapak itu lalu menjadi guru Matematika
di kelasnya. Bapak yang senang menebar senyum sepanjang jalan sambil
mengayuh sepeda itu ternyata juga murah berwajah ramah saat mengajar.
Padahal mata pelajarannya adalah satu dari sekian pelajaran yang tidak
disukai Niar. Juga, kebanyakan teman-temannya. Tapi entah karena
senyuman Pak Umar, atau memang cara mengajarnya, Niar jadi betah dan
mudah mengerti Matematika.
Di jalan pun, kini Niar bisa sambil ikut tersenyum saat mengayuh
sepeda. Karena, ada Pak Umar yang kadang enak untuk diajak berbicara
selama di perjalanan saat kebetulan berbarengan. Jikalau harus menyalip
Pak Umar karena suatu hal, ia bisa terbiasa untuk menggunakan perilaku
kesopanan. Niar akan menyapa, mengatakan maaf, lalu permisi untuk melaju
lebih dulu.
Namun hampir satu semester, Niar selalu kesulitan untuk menjawab
pertanyaannya sendiri tentang Pak Umar. Niar masih penasaran, mengapa
seorang guru yang mengajar di sekolah dengan label RSBI masih harus
mengayuh sepeda. Yang Niar bingungkan, sekolahnya kini sedang berusaha
menstandarkan pendidikannya dengan standar internasional. Dan, bukankah
untuk masuk ke sana, Niar dan kawan-kawannya sudah membayar cukup banyak
uang setara sekolah di swasta? Apa iya uang-uang itu tidak bisa
meningkatkan kesejahteraan seorang guru seperti Pak Umar? Apa iya ini
hanya karena Pak Umar tak pernah membuka les sepeeti kebanyakan
guru-guru Niar lainnya, sehingga tak memiliki uang pemasukan tambahan?
Yang Niar tahu, banyak guru di sekolahnya mengendarai mobil atau
motor. Itu pun jika motor, modelnya pasti keluaran terbaru. Hanya Pak
Umar, guru dengan transportasi sepeda jengki. Karena rasa penasaran itu
makin memuncak, Niar mulai memberanikan diri mulai menyusun aksi.
Berbagai pertanyaan itu makin menumpuk dengan satu rasa penasaran
lagi yang dimiliki oleh Niar. “Mengapa Pak Umar selalu bersepeda dengan
tersenyum? Meskipun di bawah panas terik matahari, atau meskipun sedang
membonceng istrinya yang membawa setumpuk wadah boran, mengapa harus ada
senyum di wajahnya?”
Kali ini, Niar berniat main ke rumah Pak Umar. Kebetulan, Niar
memiliki kesulitan dengan pokok bahasan kalimat persamaan. Setelah
meminta izin untuk berencana main ke rumah Pak Umar di waktu petang,
Niar akan mencoba menanyakan rasa penasarannya itu.
Wawancara langsung antara Niar dengan Pak Umar akhirnya terjadi.
Tentunya didahului dengan kata-kata maaf dan permisi seusai masalah Niar
tentang kalimat persamaan dapat ia mengerti dari Pak Umar.
Pertanyaan pertama Niar. “Kenapa ya, Bapak kok masih betah dengan
sepeda jengki? Maaf sekali lagi lho Pak, atas pertanyaan saya. Soalnya,
bagi saya Bapak itu unik, sih!”
Pak Umar sedikit tergelak mendengar pertanyaan tersebut. “Yah… sekarang kan sedang tren aksi
go green!”
jawab Pak Umar santai namun sebetulnya cukup masuk akal. Di mana-mana,
apalagi di kota besar, saat ini begitu banyak gerakan bersepeda yang
bahkan dilakukan para pegawai kantoran.
Tapi Niar memicingkan mata tak percaya karena teringat hal yang lain.
“Masak sih, Pak? Tapi, sambil membonceng Ibu, apa Bapak juga tidak
terpikir kesulitan sehingga juga ingin punya motor?”
Pak Umar menggelengkan kepala.
Niar lalu menemukan jawaban pertanyaannya sendiri. “Oh, saya tahu.
Bapak ini menghayati lagu Oemar Bakri-nya Iwan Fals, ya?” canda Niar
yang dijawab tawa Pak Umar, masih dengan bonus gelengan kepala.
“Atau… maaf nih Pak, apa iya gaji Bapak tidak cukup untuk beli motor?
Kan Bapak ngajar di RSBI. Gajinya pasti besar. Atau, kenapa Bapak tidak
mengadakan les Matematika saja seperti para guru Fisika dan Kimia?”
Niar masih mencecar. Ia sudah bertekad, malam itu, ia harus mendapatkan
jawaban dari rasa penasarannya.
Kali ini strategi Niar rupanya berhasil. Pak Umar langsung menghela
nafas dalam. “Hm… pasti kali ini Pak Umar akan menjawab jujur
pertanyaanku,” batin Niar yakin.
“Saya itu tidak pernah terpikir untuk ingin mengambil keuntungan dari
les, Niar. Cukuplah menerangkan kalian dengan jelas di kelas. Kalau ada
yang kurang mengerti, akan saya persilakan datang bertanya ke rumah. Ya
seperti kamu sekarang ini.”
“Lalu?” Niar masih tidak puas karena pertanyaannya masih belum dijawab.
“Hm… saya itu tidak bisa naik motor lho!” jawaban Pak Umar bermimik
serius yang tak dipercayai oleh Niar. Niar malah tertawa. Pasti Pak Umar
cuma beralasan mengada-ada, itu pikir Niar.
“Lho, serius ini! Banyak orang yang menawari saya untuk belajar. Tapi
saya malu. Masa, sudah tua seperti saya ini baru belajar naik sepeda
motor,” jelas Pak Umar yang langsung membuat Niar malu karena sudah
tertawa sendiri pada orang yang telah bicara jujur.
“Aduh Pak, kalau begitu saya minta maaf ya. Saya benar-benar tidak
berniat menyinggung Bapak. Sekali lagi saya mohon maaf,” pinta Niar.
Pak Umar tersenyum, dan Niar langsung ingat pertanyaannya yang lain.
Menginjak ke pertanyaan dari rasa penasarannya yang ke dua. “Pak,
Bapak apa tidak tersiksa kepanasan setiap siang? Tidak keberatan ketika
sedang menggonceng Ibu? Soalnya saya lihat, Bapak ini aneh! Siang-siang
kepanasan tapi masih bisa naik sepeda sambil tersenyum. Waktu membonceng
istri Bapak juga begitu,” aksi reportase Niar sepertinya sulit untuk
berhenti.
“Oh, itu… Saya itu punya kebiasaan melamun lho, saat naik sepeda.
Kadang, saya sambil ingat hal-hal lucu yang sering saya ketahui.
Misalnya, melihat ulah kalian waktu di kelas. Atau, kadang saya terpikir
tentang ide baru untuk bisa menerangkan Matematika dengan mudah kepada
kalian nantinya di kelas. Pokoknya, melamun sambil naik sepeda itu
banyak menghasilkan inspirasi!” mantap jawaban Pak Umar.
Niar sedikit mengernyitkan kening.
“Niar coba deh kalau tidak percaya. Biar Niar nggak suka
kebut-kebutan lagi di jalan. Bahaya, anak gadis main kebut-kebutan naik
sepeda di jalan besar!”
Mendengar petuah itu, Niar malu sendiri.
Sesampainya di rumah, Niar menyesal. Ia menyesal karena sepertinya
pertanyaan-pertanyaannya tadi telah menyinggung Pak Umar. Ia pun
menyesal karena ternyata setelah tahu jawaban Pak Umar, ia juga masih
harus melamun di pinggir jendela seperti biasanya.
“Bayangkan saja, hari semoderen ini, masih ada orang yang tidak bisa
naik motor?” Niar bertanya pada bayangan tak jelas dalam pikiran
lamunannya.
***
Sedangkan orang yang dilamunkan Niar, ternyata juga sedang termenung
diri. Sejak kepulangan sang murid dari rumahnya, berkali-kali ia
bergumam kata maaf. Ia memang sudah tidak jujur pada jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan Niar yang rasanya sudah terpikirkan sebelumnya
oleh muridnya itu. Namun kalaupun Pak Umar harus jujur, sungguh, ia
justru akan mengeluarkan penjelasan sepanjang rumus Matematika. Seperti
saat menerangkan penguraian sebuah kalimat matematika yang panjang.
Atau, selengkap rumus dimensi ruang yang membutuhkan unsur panjang kali
lebar kali tinggi. Mungkin ditambah dengan kali lama, karena penjelasan
Pak Umar memerlukan ketinggian pemahaman.
Sejak muda, Pak Umar sudah bisa mengendarai sepeda motor. Tapi
posisinya, selalu dalam istilah pinjam milik orang lain. Mungkin orang
tak akan lantas percaya, jika Pak Umar sepertinya punya surat keterangan
tambahan sejak lahir, tidak bisa memiliki sepeda motor!
Setiap hendak membeli motor, ada saja yang menjadi ganjalannya.
Orangtua sakit, anak perlu biaya sekolah, istri butuh modal, tetangga
perlu pinjam orang, dan semua itu bisa silih berganti datang hingga
sekarang.
Kini, uang yang selalu ada setiap bulannya dari gaji mengajarnya,
uang yang selalu ada setiap harinya dari hasil berjualan nasi boran
istrinya, selalu ada tersedia untuk menuju ke kantong kedua anaknya yang
butuh biaya pendidikan. Anak Pak Umar memang cerdas dan pintar. Namun
kelebihan itu tidak sekaligus membuat mereka bisa ditanggung total
kebutuhan pendidikannya di sekolah oleh beasiswa.
Dan beberapa tahun terakhir ini, Pak Umar telah menghentikan setiap
usahanya untuk memiliki sebuah sepeda motor. Ia sadar, garis hidup yang
ia miliki sepertinya adalah berjodoh dengan sepeda jengki yang tak
berpolusi.