0
“Bapak itu lagi!” Niar menggumam dalam diam di tepi jendela. Matanya menatap malam yang sedang memilih warna hitam pekat. Namun pandangan Niar yang sebenarnya, ada di berbagai peristiwa. Gaya melamunnya milik orang kebanyakan, duduk di depan meja sambil kedua tangannya menopang dagu.
Inilah rutinitas Niar seusai belajar. Melamun! Dan kali ini tema lamunan Niar seusai belajar adalah tentang seorang pria hampir paruh baya yang bagi Niar selalu khas lekat dengan sepeda jengkinya.
Niar sangat tahu betul sosok itu. Selama setahun kemarin, bapak itu selalu berpapasan dengannya di jalan. Niar kerap menyalip sepedanya di pagi hari. Terutama jika itu adalah hari Senin. Semua orang tahu, hari Senin adalah waktu untuk upacara bendera. Dan bagi Niar, hari Senin berarti juga waktunya piket membersihkan kelas. Karena itulah, hari Senin menjadi alasan bagi Niar untuk menjadi pembalap pagi hari di jalan.
Menyalip sepeda bapak itu juga dilakukan Niar di hampir setiap pulang dari sekolah. Banyak orang akan melakukan hal seperti yang Niar lakukan, bergegas mengenderai sepeda di tengah terik siang yang menyengat.
Sepeda milik Niar bukanlah sepeda balap. Sepeda dengan keranjang di depan, sepeda andalan yang pas untuk para perempuan. Tidak ada juga perangkat untuk memberatkan atau meringankan kayuhan pengendaranya yang biasa terletak di stang sepeda.
Hanya saja, Niar memang selalu punya gagasan untuk menjadi pembalap di jalan. Bahkan, mengajak balapan angkutan umum berisi teman-temannya yang juga pulang sekolah. Sebentuk kebanggaan yang terukur bagi Niar, bila ia bisa mengalahkan mobil bertubuh kuning itu. Meski sebetulnya, tentu saja dikarenakan kecepatan angkutan umum tersebut yang tidak bisa melaju cepat. Kendaraan itu kerap mampir di banyak tempat, menurunkan dan mengangkut penumpang, lalu tetap berjalan lambat demi, andai saja ada penumpang di dalam gang yang terlihat sedang berjalan untuk menyetop angkutan umum.
Sepeda milik bapak itu juga bukan sepeda tua, sehingga membuat pengendaranya selalu disalip banyak orang. Sepeda jengki, begitu orang menyebut jenisnya. Ibarat tubuh manusia, sepeda jenis ini bertubuh tinggi langsing, lebih ramping meski berfisik mirip sepeda kumbang. Namun kalau urusan laju, diameter bannya yang besar bisa membuat sepeda ini melaju lumayan gesit.
Jadi mengapa Niar kerap menyalip bapak itu, jelas sudah bukan karena urusan kualitas sepeda. Tapi, karena alasan Niar untuk harus cepat saat mengendarai sepeda di jalan. Dan, alasan bapak itu selalu berkenan disalip oleh Niar, tak pernah Niar ketahui.
Tapi sejak tadi siang, Niar punya dasar kuat untuk tidak menjadi pembalap di jalan raya. Apalagi, kini ia punya penghalang untuk tidak lagi bisa menyalip bapak bersepeda jengki yang sudah Niar ketahui identitasnya.
Paginya, Niar memang masih menjadi pembalap. Karena di awal hari itu, Niar ingin punya pengalaman pertama yang menyenangkan saat ia sudah bisa mengganti rok birunya dengan warna abu-abu.
Semua bermula dari upacara bendera. Sebetulnya mata Niar menatap silau ke segala penjuru arah. Topi barunya tak bisa menutupi wajahnya dengan maksimal. Apalagi, tidak ada barisan yang memagar di depannya. Nias sempat menggerutu, mengapa ia menjadi murid paling tinggi di kelasnya sekarang. Karena itu berarti, selama setahun nanti Niar harus kerap berada di barisan paling depan sebagai aturan baku baris berbaris. Siapa yang paling tinggi, baris di tempat kehormatan paling depan!
Para guru berbaris di tempat yang teduh, menghadap para siswa baru yang menikmati sinar pagi kaya manfaat untuk tubuh. Berbalikan dengan aturan baris berbaris pada siswa, para guru berbaris dengan aturan siapa yang paling dulu. Atau, mungkin siapa yang paling mungil, dialah yang ada di depan. Karena dalam pengamatan Niar, ternyata bapak itu berbaris di barisan paling depan, berikut juga barisan di samping kanan kirinya yang juga terdiri dari para guru dengan tinggi tubuh yang tak jauh beda dengannya.
Tapi tentu tidak ada satu orangpun yang sengaja mengatur, mengapa Niar bisa berbaris paling depan dan mengapa bapak itu juga satu arah dengannya berbaris paling depan. Lalu di kemudian waktu, membuat mereka saling kerap bertatap-tatapan.
“Ya Tuhan… itu kan bapak yang sering aku salip di jalan?” waktu itu Niar ingat pasti kalau dia cuma bisa tanpa sadar membuka mulut lebar tanda ternganga. Sedangkan bapak yang ditatap Niar, membalas dengan senyum khas yang kerap dilihat Niar.
“Ah ya, senyum itu!” Niar ingat pasti bagaimana ada seseorang yang pernah membuatnya cemberut hanya karena ia tersenyum.
Dalam pikiran Niar, sulit dijelaskan tentang seseorang yang bisa menikmati sinar matahari di siang hari. Mungkin itu sah jika jawabannya adalah para turis di Kuta Bali. Tapi ini, adalah seorang bapak, dengan seragam abu-abu gelapnya, yang mengendarai sepeda jengki, berikut senyum bahagianya.
Ya, senyum itu memang terlihat tulus tanpa paksaan matahari yang panas. Meski keringat juga terlihat mengucur lancar di wajahnya yang tak bertopi. Dan Niar menjadi keki karena tidak bisa ikut berbahagia seperti cara bapak itu!
Lain waktu, Niar menjumpai bapak itu di kala sore hari. Kali ini juga dengan kondisi yang membuat Niar geleng-geleng kepala tanda salut. Si bapak bisa memancar senyum bahagia dalam kondisi tak terbebani sosok di belakangnya. Di balik tubuh bapak itu, ada seorang wanita yang mungkin istrinya, duduk bergaya menyamping, sambil memikul setumpuk perangkat dan bahan dagangan untuk berjualan nasi boran.
Membayangkan memangkunya dalam diam saja, Niar tak mampu. Perangkat dan bahan untuk berjualan makanan khas Lamongan itu tak pernah bisa hadir dengan versi sederhana sejak dulu. Ada nasi yang diletakkan di sebuah wadah besar dari jalinan bambu yang disebut boran. Berikut, berbagai lauk yang diletakkan di beberapa wadah terpisah. Jika bagian-bagian itu disatukan, maka jadilah tumpukan setinggi sekitar kaki orang dewasa yang harus dipangku oleh wanita itu di atas dudukan belakang sepeda jengki.
Memang, tumpukan itu bisa melekat pada tubuh pembawanya karena ada selendang sebagai alat pengikat untuk menggendong. Tapi memeganginya sambil menjaga keseimbangan dengan duduk di boncengan sepeda, tentu menghasilkan gerakan-gerakan yang membuat si pemboncengnya harus lihai mengendalikan setir sepeda.
Dan jika pembonceng itu adalah Niar, ia yakin, baru satu kayuhan saja sepedanya pasti akan oleng ke samping karena beban yang ada di belakangnya. Jadi pastinya, tak akan ada gambaran dalam pikiran Niar untuk bisa menikmati kayuhan sepeda sambil tersenyum bahagia!
***
Namanya Pak Umar. Kini, memang sudah ada yang berubah dari hubungan Niar dengan orang yang selalu hanya ia bisa sebut dengan panggilan bapak atau bapak bersepeda jengki, tanpa embel-embel nama asli di belakangnya.
Setelah kejadian upacara di hari pertama ia masuk sekolah, Niar jadi mengenal nama Pak Umar. Karena, bapak itu lalu menjadi guru Matematika di kelasnya. Bapak yang senang menebar senyum sepanjang jalan sambil mengayuh sepeda itu ternyata juga murah berwajah ramah saat mengajar. Padahal mata pelajarannya adalah satu dari sekian pelajaran yang tidak disukai Niar. Juga, kebanyakan teman-temannya. Tapi entah karena senyuman Pak Umar, atau memang cara mengajarnya, Niar jadi betah dan mudah mengerti Matematika.
Di jalan pun, kini Niar bisa sambil ikut tersenyum saat mengayuh sepeda. Karena, ada Pak Umar yang kadang enak untuk diajak berbicara selama di perjalanan saat kebetulan berbarengan. Jikalau harus menyalip Pak Umar karena suatu hal, ia bisa terbiasa untuk menggunakan perilaku kesopanan. Niar akan menyapa, mengatakan maaf, lalu permisi untuk melaju lebih dulu.
Namun hampir satu semester, Niar selalu kesulitan untuk menjawab pertanyaannya sendiri tentang Pak Umar. Niar masih penasaran, mengapa seorang guru yang mengajar di sekolah dengan label RSBI masih harus mengayuh sepeda. Yang Niar bingungkan, sekolahnya kini sedang berusaha menstandarkan pendidikannya dengan standar internasional. Dan, bukankah untuk masuk ke sana, Niar dan kawan-kawannya sudah membayar cukup banyak uang setara sekolah di swasta? Apa iya uang-uang itu tidak bisa meningkatkan kesejahteraan seorang guru seperti Pak Umar? Apa iya ini hanya karena Pak Umar tak pernah membuka les sepeeti kebanyakan guru-guru Niar lainnya, sehingga tak memiliki uang pemasukan tambahan?
Yang Niar tahu, banyak guru di sekolahnya mengendarai mobil atau motor. Itu pun jika motor, modelnya pasti keluaran terbaru. Hanya Pak Umar, guru dengan transportasi sepeda jengki. Karena rasa penasaran itu makin memuncak, Niar mulai memberanikan diri mulai menyusun aksi.
Berbagai pertanyaan itu makin menumpuk dengan satu rasa penasaran lagi yang dimiliki oleh Niar. “Mengapa Pak Umar selalu bersepeda dengan tersenyum? Meskipun di bawah panas terik matahari, atau meskipun sedang membonceng istrinya yang membawa setumpuk wadah boran, mengapa harus ada senyum di wajahnya?”
Kali ini, Niar berniat main ke rumah Pak Umar. Kebetulan, Niar memiliki kesulitan dengan pokok bahasan kalimat persamaan. Setelah meminta izin untuk berencana main ke rumah Pak Umar di waktu petang, Niar akan mencoba menanyakan rasa penasarannya itu.
Wawancara langsung antara Niar dengan Pak Umar akhirnya terjadi. Tentunya didahului dengan kata-kata maaf dan permisi seusai masalah Niar tentang kalimat persamaan dapat ia mengerti dari Pak Umar.
Pertanyaan pertama Niar. “Kenapa ya, Bapak kok masih betah dengan sepeda jengki? Maaf sekali lagi lho Pak, atas pertanyaan saya. Soalnya, bagi saya Bapak itu unik, sih!”
Pak Umar sedikit tergelak mendengar pertanyaan tersebut. “Yah… sekarang kan sedang tren aksi go green!” jawab Pak Umar santai namun sebetulnya cukup masuk akal. Di mana-mana, apalagi di kota besar, saat ini begitu banyak gerakan bersepeda yang bahkan dilakukan para pegawai kantoran.
Tapi Niar memicingkan mata tak percaya karena teringat hal yang lain. “Masak sih, Pak? Tapi, sambil membonceng Ibu, apa Bapak juga tidak terpikir kesulitan sehingga juga ingin punya motor?”
Pak Umar menggelengkan kepala.
Niar lalu menemukan jawaban pertanyaannya sendiri. “Oh, saya tahu. Bapak ini menghayati lagu Oemar Bakri-nya Iwan Fals, ya?” canda Niar yang dijawab tawa Pak Umar, masih dengan bonus gelengan kepala.
“Atau… maaf nih Pak, apa iya gaji Bapak tidak cukup untuk beli motor? Kan Bapak ngajar di RSBI. Gajinya pasti besar. Atau, kenapa Bapak tidak mengadakan les Matematika saja seperti para guru Fisika dan Kimia?” Niar masih mencecar. Ia sudah bertekad, malam itu, ia harus mendapatkan jawaban dari rasa penasarannya.
Kali ini strategi Niar rupanya berhasil. Pak Umar langsung menghela nafas dalam. “Hm… pasti kali ini Pak Umar akan menjawab jujur pertanyaanku,” batin Niar yakin.
“Saya itu tidak pernah terpikir untuk ingin mengambil keuntungan dari les, Niar. Cukuplah menerangkan kalian dengan jelas di kelas. Kalau ada yang kurang mengerti, akan saya persilakan datang bertanya ke rumah. Ya seperti kamu sekarang ini.”
“Lalu?” Niar masih tidak puas karena pertanyaannya masih belum dijawab.
“Hm… saya itu tidak bisa naik motor lho!” jawaban Pak Umar bermimik serius yang tak dipercayai oleh Niar. Niar malah tertawa. Pasti Pak Umar cuma beralasan mengada-ada, itu pikir Niar.
“Lho, serius ini! Banyak orang yang menawari saya untuk belajar. Tapi saya malu. Masa, sudah tua seperti saya ini baru belajar naik sepeda motor,” jelas Pak Umar yang langsung membuat Niar malu karena sudah tertawa sendiri pada orang yang telah bicara jujur.
“Aduh Pak, kalau begitu saya minta maaf ya. Saya benar-benar tidak berniat menyinggung Bapak. Sekali lagi saya mohon maaf,” pinta Niar.
Pak Umar tersenyum, dan Niar langsung ingat pertanyaannya yang lain.
Menginjak ke pertanyaan dari rasa penasarannya yang ke dua. “Pak, Bapak apa tidak tersiksa kepanasan setiap siang? Tidak keberatan ketika sedang menggonceng Ibu? Soalnya saya lihat, Bapak ini aneh! Siang-siang kepanasan tapi masih bisa naik sepeda sambil tersenyum. Waktu membonceng istri Bapak juga begitu,” aksi reportase Niar sepertinya sulit untuk berhenti.
“Oh, itu… Saya itu punya kebiasaan melamun lho, saat naik sepeda. Kadang, saya sambil ingat hal-hal lucu yang sering saya ketahui. Misalnya, melihat ulah kalian waktu di kelas. Atau, kadang saya terpikir tentang ide baru untuk bisa menerangkan Matematika dengan mudah kepada kalian nantinya di kelas. Pokoknya, melamun sambil naik sepeda itu banyak menghasilkan inspirasi!” mantap jawaban Pak Umar.
Niar sedikit mengernyitkan kening.
“Niar coba deh kalau tidak percaya. Biar Niar nggak suka kebut-kebutan lagi di jalan. Bahaya, anak gadis main kebut-kebutan naik sepeda di jalan besar!”
Mendengar petuah itu, Niar malu sendiri.
Sesampainya di rumah, Niar menyesal. Ia menyesal karena sepertinya pertanyaan-pertanyaannya tadi telah menyinggung Pak Umar. Ia pun menyesal karena ternyata setelah tahu jawaban Pak Umar, ia juga masih harus melamun di pinggir jendela seperti biasanya.
“Bayangkan saja, hari semoderen ini, masih ada orang yang tidak bisa naik motor?” Niar bertanya pada bayangan tak jelas dalam pikiran lamunannya.
***
Sedangkan orang yang dilamunkan Niar, ternyata juga sedang termenung diri. Sejak kepulangan sang murid dari rumahnya, berkali-kali ia bergumam kata maaf. Ia memang sudah tidak jujur pada jawaban dari pertanyaan-pertanyaan Niar yang rasanya sudah terpikirkan sebelumnya oleh muridnya itu. Namun kalaupun Pak Umar harus jujur, sungguh, ia justru akan mengeluarkan penjelasan sepanjang rumus Matematika. Seperti saat menerangkan penguraian sebuah kalimat matematika yang panjang. Atau, selengkap rumus dimensi ruang yang membutuhkan unsur panjang kali lebar kali tinggi. Mungkin ditambah dengan kali lama, karena penjelasan Pak Umar memerlukan ketinggian pemahaman.
Sejak muda, Pak Umar sudah bisa mengendarai sepeda motor. Tapi posisinya, selalu dalam istilah pinjam milik orang lain. Mungkin orang tak akan lantas percaya, jika Pak Umar sepertinya punya surat keterangan tambahan sejak lahir, tidak bisa memiliki sepeda motor!
Setiap hendak membeli motor, ada saja yang menjadi ganjalannya. Orangtua sakit, anak perlu biaya sekolah, istri butuh modal, tetangga perlu pinjam orang, dan semua itu bisa silih berganti datang hingga sekarang.
Kini, uang yang selalu ada setiap bulannya dari gaji mengajarnya, uang yang selalu ada setiap harinya dari hasil berjualan nasi boran istrinya, selalu ada tersedia untuk menuju ke kantong kedua anaknya yang butuh biaya pendidikan. Anak Pak Umar memang cerdas dan pintar. Namun kelebihan itu tidak sekaligus membuat mereka bisa ditanggung total kebutuhan pendidikannya di sekolah oleh beasiswa.
Dan beberapa tahun terakhir ini, Pak Umar telah menghentikan setiap usahanya untuk memiliki sebuah sepeda motor. Ia sadar, garis hidup yang ia miliki sepertinya adalah berjodoh dengan sepeda jengki yang tak berpolusi.
0Awesome Comments!