0
suasana ujian nasional |
Ki Hadjar Dewantara, selain memperkenalkan metode among (ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani) dalam proses pembelajaran, sangat menekankan pendidikan sebagai jalan untuk memperbaiki nasib rakyat.
Pada Kongres I Taman Siswa di Yogyakarta, 20 Oktober 1923, Ki Hadjar Dewantara menyampaikan dua gagasan pokok sebagai bagian dari tujuh asas Taman Siswa, yaitu pendidikan berasas pada kebudayaan sendiri dan pendidikan yang merakyat.
Pendidikan dan pengajaran, menurut Ki Hadjar Dewantara, harus mengena pada rakyat secara luas dan tidak boleh memisahkan orang-orang terpelajar dari penghidupan rakyat senyatanya. Untuk itu, pendidikan nasional mesti diselenggarakan selaras dengan kodrat bangsa. Hanya dengan cara itu ketertinggalan masyarakat pribumi dapat dihilangkan dan kedamaian dalam kehidupan bersama dapat diwujudkan.
Ki Hadjar Dewantara sangat kecewa menyaksikan sistem pendidikan dan cara pengajaran yang dijalankan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dalam artikel yang berjudul ”Koerangnja dan Ketjewanja Onderwijs bagi Ra’jat Kita” pada majalah Wasita jilid 1 No 5 edisi Februari 1929, ia mengkritik pelaksanaan pendidikan dan pengajaran pemerintah yang terlampau menekankan aspek keterampilan dan intelektualisme yang berorientasi pada kepentingan Barat.
Pendidikan yang demikian akan menggerus nilai-nilai spiritualitas (budaya) dan tidak akan dapat mengangkat derajat masyarakat pribumi, bahkan semakin menenggelamkannya sebagai budak bangsa lain. Padahal, pendidikan—dalam pandangan Dewantara—seharusnya menjadi upaya pembudayaan serta jalan menuju penghidupan baru yang lebih sejahtera dan mandiri.
Tidak mengenai rakyat
Kini setelah 80-an tahun berlalu, kekecewaan Ki Hadjar Dewantara tidaklah sirna, malah menjalari batin bangsa. Pendidikan dan pengajaran, meskipun dilaksanakan oleh pemerintah kita sendiri, ternyata tidak mampu memperbaiki nasib dan martabat bangsa.
Kenyataannya, kedamaian hidup yang didambakan oleh rakyat berkat kesejahteraan dan perlindungan oleh negara masih jauh panggang dari api. Rakyat mati konyol karena tersiksa sebagai TKI di luar negeri. Geng motor, perampokan di siang bolong, pemerkosaan dalam angkot, gangguan sempadan oleh negara jiran adalah sebagian kecil dari fakta yang menandakan bahwa daya negara dalam memberikan perlindungan terhadap segenap bangsa dan seluruh tumpah darah masih sangat lemah.
Pendidikan dan pengajaran kita, seperti dikhawatirkan oleh Ki Hadjar Dewantara, berjalan tidak berasas pada kebutuhan sendiri sehingga tidak mampu membebaskan diri dari ketergantungannya pada pihak asing. Dewasa ini tujuh dari sembilan bahan pokok serta berbagai sumber daya alam kita diimpor dari dan dikuasai oleh bangsa lain.
Kendati negeri ini disebut agraris—meski dua pertiga wilayahnya berupa laut—dan memiliki sekolah menengah, fakultas/jurusan/program studi, hingga institut teknologi pertanian, pertanian tidak mengalami kemajuan berarti. Perekonomian bangsa Indonesia tidak bersaka guru, baik pada pertanian maupun kelautan (perairan). Sementara 60 persen rakyat masih hidup dari pertanian, yang 80 persen di antaranya miskin.
Kelautan, perikanan, dan studi tentang keduanya baru mendapatkan perhatian pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid. Itu pun setelah ikan, pasir, dan kekayaan perairan kita banyak dijarah.
Sekarang pendidikan pertanian tergolong bidang yang jenuh, kurang diminati karena sulit mendapat pekerjaan. Konon 8 dari 10 lulusan institut pertanian yang terkenal tidak bekerja pada bidang yang bersangkutan. Lebih memprihatinkan lagi, sebagian besar petani menyekolahkan anaknya hingga ke level paling tinggi agar tak menjadi petani seperti orangtuanya. Apakah jadinya kelak negeri ini jika keadaan ini terus berlangsung?
Pendidikan kita sepertinya juga telah gagal membangun budaya bangsa yang merdeka dan berjiwa maju. Pertama, spirit dan pola pikir sebagian besar anak negeri ini masih melanjutkan gaya nenek moyang yang hidup dalam alam yang serba berkecukupan. Sifat serba ingin cepat, mudah, dan santai—meski melanggar aturan—masih menjadi ciri kepribadian bangsa. Kinerja belum menjadi nilai dan budaya yang dianut oleh sebagian besar masyarakat. Sementara itu, tantangan terus berubah, bahkan semakin berat.
Kedua, perilaku irasionalitas masih sangat dominan di tengah masyarakat kita. Alam mitis dan mistis masih bersemayam kuat dan semakin disuburkan melalui berbagai program ”penampakan” televisi. Emosionalisme yang ditandai oleh amuk dan keberingasan, terutama setelah reformasi, semakin menjadi. Kini, bukan hanya pelajar terlibat tawuran, polisi dan TNI juga saling menyerang. Rakyat berdemo, menyabet apa saja; dan anggota DPR pun berkelahi.
Ketiga, alam pikiran bangsa ini belum pulih dari memar keterjajahan sehingga penampilan para pemimpin dan pejabat kita persis perilaku para meneer dan amtenar kolonial: menindas dan korup. Di sisi lain, mentalitas kita menunjukkan sindrom minder yang akut, terutama terhadap Barat, sehingga sering kali mencari berbagai upaya penguatan semu.
Kelas dunia
Di tengah kegalauan bangsa ini, dunia pendidikan kita tiba-tiba seperti mengigau tentang ”kelas dunia” yang tidak jelas maksudnya: world class university ataupun (rintisan) sekolah bertaraf internasional.
Gagasan ”kelas dunia”, disadari ataupun tidak, muncul dari naluri dan kerangka berpikir Darwinisme Sosial yang melihat setiap perkembangan selalu dalam relasi konkurensi yang harus dimenangi.
Kosakata persaingan atau kompetisi kemudian menjadi visi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2025. Visi komersial ini menuntun segenap upaya pendidikan kita untuk melihat keluar, mengacu pada dan menggunakan standar-standar (yang dikira) internasional, misalnya negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).
Orientasi berpikir demikian membuat jalannya pendidikan tidak hanya mengabaikan nilai-nilai dan kebutuhan riil kita atau ”tidak selaras dengan kodrat bangsa” menurut ungkapan Ki Hadjar Dewantara, tetapi juga menjadi diskriminatif. Jika dahulu anak demang, pesirah, serta keluarga bangsawan dan orang kaya yang dapat menikmati pendidikan yang baik, sekarang pun serupa pula adanya.
Ketidakselarasan dengan kodrat bangsa dan diskriminatif telah membuat para tokoh, seperti Willem Iskandar di Tapanuli Selatan, Mohammad Syafei di Sumatera Barat, dan Ki Hadjar Dewantara di Jawa berjuang agar pengajaran dan pendidikan berlangsung sesuai dengan nilai-nilai dan kebutuhan bangsa serta dapat diperoleh rakyat luas. Mereka paham, jika pendidikan yang baik tidak didapatkan oleh sebagian besar rakyat, bangsa ini akan terus melarat.
0Awesome Comments!